Jumat, 18 September 2009

PENDIDIKAN KITA....

CERDAS TAK HANYA DI ATAS KERTAS
Oleh Agil Pranutianingrum
Bahasa Inggris semester V

Masih ingat di memori kita sebuah film anak-anak yang membuat kita mengidolakannya? Taruhlah Conan Edogawa, detektif cilik dan imut dikenal kejeniusannya dalam mengungkap kasus pembunuhan di dunia fiksi. Atu kita lihat Kung Fu Boy, yang memiliki kecerdasan dlam mempelajari jurus kung fu yang diuraikan seilmiah mungkin. Dua tokoh fiksi tersebut ini memang hidup di dunia komik. Tapi penggemarnya di dunia nyata menggilai kecerdasannya.
Bukan rahasia, bila orang cerdas menjadi impian. Cerdas di sekolah identik dengan popularitas ataupun terkenal. Sudahlah pasti siswa cerdas menjadi sorotan dan syutingan baik dari siswa, guru maupun seluruh warga sekolah. Alasannya mungkin satu ini, yaitu siswa yang begini inilah yang akan menjadi aset berharga yang akan mengharumkan nama baik sekolah dengan seabreg prestasinya.
Namun cukupkah cerdas yang seperti uraian di atas? Sebab banyak sekali yang menganggap cerdas selalu berkaitan dengan langganan juara kelas, intelektual tinggi, jagu mengerjakan soal-soal rumit nan pelik seperti matematika, fisika, atau kimia. Sepertinya tidak perlu parameter lain contohnya saja pemaaf, penyabar, empati, suka menasehati, aktivis dakwah pada diri orang tersebut. Ukuran yang biasa digunakan oleh pihak sekolah, militer maupun tempat kerja yakni IQ alias Intelegencia Quetient (kecerdasan intelektual) yang di usung oleh Alfred Binet pada tahun 1857 sampai dengan 1911. Penilaian yang didasarkan pada skor perolehan dari jawaban seputar nalar dan logika untuk mengetes sejauh mana intelektual seseorang.
Perlu diketahui, ilmuan Eropa merasa hal tersebut terlalu sederhana ntuk dijadikan ukuran dari kecerdasan, untuk itu Daniel Golemen dengan bukunya Emotional Intelegence (EQ) memaparkan bahwa prosentase dari pengaruh IQ terhadap keberhasilan seseorang adalah 20% sedangkan yang 80% adalah faktor-faktor lain yang serumpun dengan kecerdasan emosional. Dapat digambarkan bahwa IQ mengangkat fungsi pikiran, maka EQ mengangkat fungsi perasaan. Maka perpaduan antara IQ dan EQ yang akan mensinergikan antara intelektual dan rasa manusiawi seseorang.
Apakah ada hal yang lain yang mempengaruhi kecerdasan seseorang? Tentu saja ada yakni SQ (Spiritual Quotient) atau kecerdasan spiritual. SQ merupakan gagasan dari Danah Zohar yang menuturkan bila IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), kemudian EQ bekerja ke dalam (telinga perasaan) kemudian SQ menunjukkan pada kondisi pusat diri. Maksudnya kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa seseorang. Oleh karena itu orang yang memiliki SQ yang tinggi mampu memaknai peristiwa dalam setiap kehidupannya dengan membangkitkan aura positif jiwanya baik itu penderitaan, tekanan, kesengsaraan, serta masalah.
Tak perlu minder bila IQ kita jongkok atau mungkin malah tiarap, asal kita menjadi cerdas dengan menonjolkan EQ dan SQ kita. Kekuatan dua hal tersebut mengangkat diri kita menjadi insan mulia di hadapan manusia maupun Robbul Izzati. Kedua kekuatan itu pula yang akan menyeret IQ berpihak pada kita karena kemampuan menguasai diri kita sendiri dan kemampuan melejitkan semangat diri. Sebab kekuatan ini berarti kesadaran pengawasan dari Tuhan, kesadaran ini tidak hanya sebuah wacana, melainkan motivasi untuk beramal melebihi motivasi yang dilahirkan dari materi, harta, popularitas, gengsi atau kepintaran.
Coba kita tafakuri, kita dianugerahi dua mata ini bukan hanya untuk sekedar melihat namun untuk memperhatikan. Kita dianugerahi dua telinga bukan hanya sekedar mendengar tetapi untuk mendengarkan. Kita dianugerahi perasaan bukan sekedar untuk merasakan akan tetapi menyadari. Yang ditakutkan ketika apa yang kita miliki, nikmat yang kita miliki ini menghilang dari kita atau hanya berkurang saja pasti akan terasa betapa nikmat itu sangat mahal.
Mari kita eksplorasi dan eksploitasi berbagai potensi dalam diri kita, meski sering kita lihat dalam kurikulum pendidikan yang ditekankan pada peningkatan intelektual. EQ siswa lambat laun terkikis oleh bebagai penanaman materi dan prestasi. Sekaligus SQ siswa yang tertimbun rapi diantara tumpukan ilmu yang bejibun. Lihat saja dua jam pelajaran agama dalam satu minggu terlihat sebagai formalitas dan pelengkap. Parahnya pelajaran agama hanya terbatas pada obrolan ibadah dan tak lebih hafalan sebelum ulangan dibanding pemahaman untuk dipraktikan.
Fakta yang ada apabila IQ tinggi tidak diikuti oleh perkembangan EQ dan SQ seperti kondisi negara kita saat ini. Berapa banyak kasus korupsi yang menjerat orang-orang berdasi, menjerat orang-orang berjas, menjerat orang-orang berkacamata dan bersepatu mengkilat. Apa mereka tidak sekolah? Oh mereka sekolah sampai perguruan tinggi. Apa mereka bodoh? Bukan, karena kebanyakan IP mereka lebih dari 3. Apa mereka miskin? Tidak benar, karena mereka menjinjing tas laptop di dalam mobil mewah. Lalu apa yang membuat mereka berbuat seperti itu? Jawabannya adalah mereka kaya IQ tapi miskin EQ dan SQ.
Maka kita cukup kagum dengan salah satu negara Asia di mana saat pelantikan petinggi negaranya menyiapkan 2 peti. Satu peti untuk koruptor dan satu peti untuk dirinya apabila dia korupsi. Atau kisah nyata dari Kepala Negara Korea yang baru saja bunuh diri terjun dari bukit karena tersangkut kasus korupsi. Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita.
Untuk itu marilah kita wujudkan diri kita sebagai generasi muda yang kaya IQ lengkap dengan EQ sekaligus disempurnakan oleh SQ. Sudah pasti tidak perlu diragukan lagi akan menjadi generasi yang patut dibanggakan oleh siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar sahabat dipersilakan